Pemerkosaan dan Pelecehan Seksual: Saatnya Kita Tidak Lagi Diam
Oleh Muhammad Ikhwan, S.H., M.H
Dosen Prodi Hukum Universitas Dharmas Indonesia
Pemerkosaan dan pelecehan seksual bukan sekadar pelanggaran hukum tapi juga merupakan suatu kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, ironi terbesar dalam masyarakat kita adalah bahwa korban sering kali dipaksa untuk diam, sementara pelaku dibiarkan melenggang bebas, berlindung di balik budaya patriarki, norma sosial yang membungkam, dan sistem hukum yang tumpul.
Selama ini, kita terlalu sering mendengar kalimat-kalimat seperti “kenapa dia tidak melawan?”, “pakaian korban terbuka,” atau “mereka berduaan, jadi wajar kalau terjadi.” Pernyataan-pernyataan semacam ini bukan hanya menyalahkan korban, tapi juga menjadi bentuk kekerasan kedua yang memperburuk luka yang sudah dalam. Ini adalah bentuk pembiaran yang membunuh rasa keadilan.
Data Komnas Perempuan mencatat ribuan kasus kekerasan seksual setiap tahun.
Tapi kita tahu, angka ini hanyalah puncak dari gunung es. Di balik setiap data, ada ribuan korban yang memilih bungkam karena takut, malu, atau tidak percaya pada sistem hukum. Laporan yang tidak ditindaklanjuti, interogasi yang menyudutkan korban, hingga minimnya edukasi seks yang benar, semua ini adalah bukti kegagalan kolektif kita sebagai masyarakat.
Sudah waktunya kita bersikap. Hukum harus berpihak pada korban, bukan pada pelaku. Aparat penegak hukum, guru, tokoh agama, media, dan seluruh lapisan masyarakat harus menjadi pelindung korban, bukan pelaku atau status quo yang membungkam.
Pendidikan seks yang komprehensif harus dimulai sejak dini bukan untuk mendorong seks bebas, tetapi untuk membangun kesadaran tentang batasan tubuh, persetujuan, dan penghormatan terhadap sesama. Kita juga perlu menghapus mitos dan stigma seputar kekerasan seksual, karena tidak ada korban yang salah.
Jika kita terus diam, kita membiarkan kekerasan ini menjadi warisan. Jika kita bersuara, kita membuka jalan untuk perubahan. Pilihannya ada pada kita.
Istilah pelecehan seksual dan pemerkosaan kerap digunakan secara bergantian dalam percakapan sehari-hari, bahkan dalam pemberitaan media.
Padahal, keduanya memiliki definisi hukum, bentuk tindakan, dan dampak yang berbeda. Memahami perbedaan ini bukan hanya penting dari segi hukum, tetapi juga dari perspektif perlindungan korban dan edukasi publik.
Pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku bernuansa seksual yang tidak diinginkan dan membuat seseorang merasa terganggu, terhina, atau terancam. Bentuknya bisa sangat beragam: dari komentar bernada seksual, siulan, pandangan tidak senonoh, sentuhan fisik yang tidak diinginkan, hingga tindakan-tindakan yang menjurus pada kekerasan verbal dan psikologis.
Pelecehan bisa terjadi di tempat kerja, transportasi umum, kampus, bahkan dalam lingkungan keluarga.
Sementara itu, pemerkosaan adalah bentuk kekerasan seksual yang lebih berat karena melibatkan pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan. Dalam hukum Indonesia (KUHP Pasal 285 dan UU TPKS), pemerkosaan biasanya mengacu pada penetrasi paksa, sering disertai dengan kekerasan fisik, ancaman, atau manipulasi terhadap korban. Dalam UU TPKS, definisi pemerkosaan juga diperluas untuk mencakup berbagai bentuk penetrasi seksual paksa, tidak terbatas pada penetrasi penis-vagina.
Perbedaan utama keduanya terletak pada intensitas tindakan dan unsur kekerasan fisik yang menyertainya, namun keduanya sama-sama melibatkan pelanggaran atas hak tubuh dan martabat manusia. Jangan salah: pelecehan seksual bukan “kejahilan” yang bisa dimaafkan. Begitu juga, pemerkosaan bukan sekadar "kecelakaan" atau "salah paham."
Kesamaan terbesar antara pelecehan dan pemerkosaan adalah dampaknya terhadap korban: trauma psikologis, rasa malu, ketakutan, bahkan depresi berkepanjangan.
Sayangnya, baik pelecehan maupun pemerkosaan sering kali tidak dilaporkan karena korban takut tidak dipercaya, atau karena pelakunya adalah orang dekat atau berkuasa.
Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, masyarakat perlu memahami bahwa baik pelecehan maupun pemerkosaan adalah kejahatan serius yang harus ditindak secara hukum. Kedua, kita harus mendorong pendekatan yang berpihak pada korban, bukan menyalahkan mereka. Ketiga, edukasi tentang persetujuan (consent), batasan fisik, dan relasi yang sehat harus menjadi bagian dari pendidikan formal dan informal.
Dalam negara hukum, tidak ada alasan untuk membiarkan pelaku bebas hanya karena "tidak ada bukti cukup" atau karena tindakan pelecehan dianggap sepele. Setiap pelanggaran terhadap tubuh orang lain adalah bentuk kekerasan baik verbal, psikologis, maupun fisik. Dan kekerasan, dalam bentuk apapun, tidak boleh ditoleransi.
Secara normatif, Indonesia sebenarnya memiliki sejumlah perangkat hukum untuk menindak pelaku kejahatan seksual. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur mengenai pemerkosaan dalam Pasal 285, dan pelecehan seksual dalam beberapa pasal lain.
Selain itu, hadirnya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan langkah maju yang sangat penting, karena undang-undang ini memperluas definisi kekerasan seksual, mengatur tentang pemulihan korban, dan menegaskan bahwa kekerasan seksual adalah pelanggaran terhadap hak tubuh dan martabat manusia.
Namun, dalam praktiknya, masih banyak korban yang kesulitan mengakses keadilan. Beberapa persoalan utama antara lain:
1. Proses pembuktian yang memberatkan korban
Dalam banyak kasus, korban dihadapkan pada proses hukum yang panjang, melelahkan, dan bahkan menyakitkan secara psikologis. Korban harus membuktikan bahwa dirinya diperkosa, padahal seharusnya fokus utama adalah membuktikan adanya unsur kekerasan atau tidak adanya persetujuan.
2. Stigmatisasi dan budaya menyalahkan korban (victim blaming)
Korban sering kali diposisikan sebagai pihak yang bersalah—ditanyai soal pakaian, lokasi kejadian, atau mengapa tidak melawan. Pendekatan ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga menghambat proses hukum yang berpihak kepada korban.
3. Kurangnya pelatihan aparat penegak hukum dan lembaga pendukung korban
Tidak semua aparat kepolisian, jaksa, dan hakim memahami pendekatan berbasis korban. Minimnya empati dan perspektif gender dapat membuat korban semakin enggan melapor.
4. Minimnya akses terhadap pendampingan hukum dan psikologis
Banyak korban tidak tahu ke mana harus mengadu, atau tidak mendapatkan pendampingan hukum yang memadai. Padahal, pemulihan korban secara psikologis sangat penting agar mereka dapat menjalani proses hukum dengan aman dan kuat.
Untuk itu, upaya hukum terhadap tindak pidana pemerkosaan dan pelecehan seksual harus dikuatkan melalui langkah-langkah berikut:
• Implementasi menyeluruh UU TPKS, termasuk penyediaan layanan terpadu, SOP penanganan yang manusiawi, serta peningkatan kapasitas aparat penegak hukum.
• Pendidikan hukum dan kesadaran publik, agar masyarakat memahami hak-hak korban serta tidak lagi menganggap kekerasan seksual sebagai aib pribadi.
• Dukungan anggaran dan infrastruktur layanan korban, seperti rumah aman, pendampingan hukum gratis, dan layanan psikologis.
• Revisi dan harmonisasi regulasi agar tidak terjadi tumpang tindih antara KUHP dan UU TPKS, serta memastikan bahwa hukum adat atau norma sosial tidak digunakan untuk mengaburkan kejahatan seksual.
Perjuangan melawan kekerasan seksual adalah perjuangan panjang. Namun, dengan sistem hukum yang adil, berpihak pada korban, dan sensitif terhadap trauma, kita bisa menciptakan ruang yang lebih aman bagi semua.(*/Red)
Posting Komentar