Garam yang Hilang dari Periuk Negara: Mengapa Partai Kristen Harus Berani 'Melepaskan Pakaian' Sektarian untuk Kembali Berbisa
Bogor, 13 Des 2025 – Tidak lagi tentang "kami Kristen", tapi tentang "kita bangsa". Itulah kunci untuk partai politik Kristen agar tidak hanya menjadi catatan sejarah, melainkan "garam yang kembali menyegarkan periuk negara" di tengah kerumunan partai yang seringkali terjebak dalam politik identitas yang membosankan.
Bayangkan tahun 1955: Parkindo dan Partai Katolik berdiri tegak di parlemen, suaranya kental dalam membahas nasib bangsa. Mereka bukan hanya "wakil agama", tapi aktor politik yang relevan, mendapatkan kursi yang signifikan karena mampu berbicara tentang isu yang menyentuh semua warga. Namun, gelombang fusi paksa Orde Baru tahun 1973 membuang mereka ke dalam selokan sejarah – identitas Kristen "dicemplungkan" ke dalam PDI, dan semuanya terasa seperti "nyala api yang diredam ombak".
Reformasi membuka peluang kembali, dan tahun 1999 menjadi titik awal yang penuh harapan dengan munculnya Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB). Didirikan oleh tokoh-tokoh Kristen dari berbagai latar belakang, PDKB muncul sebagai salah satu wadah pertama yang membawa kembali identitas Kristen ke panggung politik pasca-Soeharto. Mereka berusaha menyuarakan nilai-nilai kekristenan seperti kasih, keadilan, dan persatuan, dengan harapan menarik dukungan tidak hanya dari umat Kristen tapi juga warga yang menginginkan politik berbasis moral.
Di tengah 48 partai yang berpartisipasi dalam Pemilu 1999, PDKB berhasil meraih 5 kursi di DPR RI – sebuah pencapaian yang patut diperhitungkan untuk partai baru, bahkan meskipun jumlah itu masih jauh dari yang dibutuhkan untuk menjadi kekuatan dominan. Namun, keberhasilan itu hanya sebentar – mereka gagal memperkuat basis elektoral di masa depan, dan meskipun menjadi bagian dari koalisi di beberapa daerah, tidak mampu membangun pengaruh yang abadi. Di sinilah kita ingat pribahasa Jawa: "Loro tulung kelakon, siji tulung gagal" (Dua tangan bisa melakukan, satu tangan akan gagal) – PDKB terlalu terjebak dalam "tangan tunggal" basis Kristen semata, lupa bahwa di politik nasional, keberhasilan membutuhkan dukungan yang luas dari berbagai kelompok.
Yang perlu ditegaskan dengan jelas: sejak berdirinya partai politik Kristen di Indonesia, tidak pernah ada kader atau tokoh penting dari partai-partai tersebut yang kedapatan, tertangkap, atau menjadi tersangka dalam kasus korupsi apa pun. Ini adalah warisan moral yang berharga, bukti bahwa nilai-nilai kekristenan yang mereka anut telah membentuk kebijakan dan perilaku yang bersih di tengah lingkaran politik yang seringkali terkontaminasi korupsi. Kehilangan ini menjadi "pelajaran pahit" bahwa hanya "muncul kembali" belum cukup – butuh lebih dari itu untuk bertahan di ranah politik nasional, tanpa mengorbankan warisan moral yang sudah terbentuk.
Setelah PDKB meredup, PDS muncul sebagai bintang baru, meraih 13 kursi di 2004. Tapi keajaiban itu hanya sesaat: konflik internal yang memecah belah dan gagal menarik pemilih di luar basis membuat mereka terjatuh dari panggung. Sejak 2009, Senayan seperti kehilangan "suara moral" yang penting – dan partai Kristen terjebak dalam lingkaran "kecil, sektarian, dan tidak relevan".
Masalahnya tidak hanya ada di luar, tapi juga di dalam komunitas sendiri. Umat Kristen di Indonesia seperti "koleksi kaca yang berbeda-beda" – ada Protestan, Katolik, berbagai sinode dan denominasi, masing-masing dengan fokus yang berbeda. Menyatukan mereka dalam satu visi politik adalah seperti "membuat kerangka dari kayu yang beragam" – sulit, mudah retak. Bahkan, banyak pemilih Kristen malah lebih suka partai nasionalis-sekuler karena dianggap lebih mampu "menghidupi pluralisme" daripada partai sendiri yang terlalu "kaku" dengan identitas agama.
Disini terasa makna pribahasa Jawa lain: "Banyu kalih gumantung, banyu tunggal rebah" (Air yang banyak bisa menopang, air yang sedikit akan kering) – perpecahan internal membuat partai Kristen seperti "air tunggal" yang mudah kering, tidak mampu menopang diri sendiri di tengah tekanan politik.
Di sisi lain, label "partai agama" menjadi jerat di tengah masyarakat mayoritas. Meskipun berdiri di atas Pancasila, mereka selalu ditilik dengan waspada – "apakah mereka akan memaksakan ajaran agama ke semua orang?" Ternyata, ketakutan itu lebih kuat daripada pesan mereka, membuat sulit menarik pemilih non-Kristen yang sebenarnya mencari "politik berbasis nilai, bukan identitas".
Tidak ketinggalan, tantangan dana dan struktur organisasi membuat partai kecil seperti ini sulit bersaing. Tanpa dana yang cukup, kampanye nasional hanyalah mimpi, dan struktur yang kaku membuat mereka lambat beradaptasi dengan perubahan zaman.
Jadi, apakah partai Kristen masih punya harapan? Jawabannya: YA – tapi hanya jika mereka berani "melepaskan pakaian sektarian" dan menjadi partai yang "berjiwa Kristen tapi berhati nasional".
Berikut adalah "ramuan rahasia" untuk kembali menjadi aktor politik yang kuat:
1. Visi yang "Lebih Besar Dari Sendiri": Bonum Commune sebagai Landasan
Jangan lagi bicara tentang "melayani umat Kristen", tapi tentang "melayani kebaikan bersama" (Bonum Commune). Tegaskan berdiri di atas Pancasila, dan buat visi yang menjangkau semua suku, agama, dan golongan – dari petani di pedalaman hingga pekerja di kota. Jadilah partai yang "peduli dengan pendidikan yang terjangkau, kesehatan yang layak, dan lingkungan yang bersih" – isu-isu yang benar-benar menyentuh hati masyarakat.
2. Kader yang "Melewati Batas Denominasi": Soliditas yang Tidak Bisa Diragu
Lakukan upaya serius untuk mempersatukan tokoh-tokoh kunci dari berbagai sinode dan organisasi Kristen. Jangan biarkan partai dianggap sebagai "perpanjangan tangan satu gereja saja" – itu adalah jalan menuju kehancuran. Buat tim yang "beragam tapi satu tujuan", di mana perbedaan denominasi bukan menjadi penghalang, melainkan kekuatan untuk memahami kebutuhan masyarakat yang beragam.
3. Kampanye yang "Digital dan Kreatif": Jauh dari Politisasi Agama
Di era digital, partai tidak perlu menghabiskan banyak uang untuk kampanye. Manfaatkan platform sosial, buatkan konten yang menarik dan relevan, ceritakan cerita tentang perubahan nyata yang bisa dilakukan. Hindari berbicara tentang isu agama yang sensitif – lebih baik bicara tentang "keadilan sosial, antikorupsi, dan perlindungan minoritas" – nilai-nilai Kristen yang sebenarnya bisa disukai oleh semua orang.
4. Inklusivitas yang "Benar-Benar Nyata": Jangan Hanya Untuk Kristen
Jadilah partai yang "buka pintu untuk semua". Jangan meminggirkan pemilih non-Kristen – mereka adalah basis elektoral potensial yang "merindukan politik berbasis nilai". Buktikan bahwa partai bisa mewakili kepentingan semua warga, bukan hanya kelompok sendiri. Hanya dengan begitu, partai akan dianggap "serius" dan "layak dipercaya" – sesuai dengan pribahasa Jawa: "Jeruk segar diambil, jeruk busuk dibuang" (Yang bermanfaat akan diterima, yang tidak akan ditinggalkan) – partai yang inklusif dan bermanfaat akan selalu memiliki tempat di hati masyarakat.
Transformasi ini tidak mudah – seperti "menanam pohon di tanah yang kering" – tapi bukan tidak mungkin. Saat kita melihat ke masa depan, tidak mustahil kita menyaksikan kemunculan kembali partai Kristen yang baru – yang tidak lagi bersandar pada identitas sektarian, tapi mengusung nilai-nilai kesetaraan yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Partai ini akan menjadi "suara nyaring" untuk kesetaraan tanpa memandang agama, suku, atau golongan – sesuai dengan pasal 28D ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pengakuan, pelindungan, dan pemenuhan hak-haknya secara sama dan setara. Mereka tidak akan menjadi "perpanjangan tangan gereja", tapi "perpanjangan tangan konstitusi" – menyebarkan nilai-nilai keadilan, kasih, dan kesetaraan yang menjadi inti kekristenan sekaligus jiwa negara, sambil tetap memelihara warisan mulia: kader yang bersih, tidak pernah terlibat korupsi.
Hanya dengan begitu, partai Kristen akan benar-benar menjadi "garam yang kembali menyegarkan periuk negara" – sebuah aktor politik yang dibutuhkan bangsa untuk membangun Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan penuh rasa hormat terhadap setiap warga.
Oleh Kefas Hervin Devananda, Jurnalis Senior Pewarna Indonesia dan Wasekjen Ormas Parkindo
Keterangan : Teknologi Gambar AI

Posting Komentar